Lindungi Anak, PGI Gagas Gereja Ramah Anak di Indonesia

Diskusi Gereja Merespon Darurat Perlindungan Anak di Indonesia

WARTANASRANI.COM, JAKARTA - Kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia kian mengkhawatirkan. Berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024 oleh Kementerian PPPA, sekitar 11,5 juta anak usia 13–17 tahun pernah mengalami kekerasan, dan sekitar 7,6 juta di antaranya mengalaminya dalam satu tahun terakhir. Termasuk dalam kasus tersebut, kekerasan yang terjadi di lingkungan keagamaan, termasuk gereja, menjadi perhatian serius.

Menanggapi kondisi darurat ini, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) melalui Biro Keluarga dan Anak, bekerjasama dengan United Evangelical Mission (UEM), Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB), dan Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK), menggelar diskusi bertajuk “Gereja Merespons Darurat Perlindungan Anak di Indonesia” secara daring pada Selasa, 29 April 2025.

Sekretaris Umum PGI Pdt. Darwin Darmawan dan Pendiri ECPACT Dr. Ahmad Sofyan, SH., MA. menjadi pemantik dalam diskusi yang dihadiri jemaat, pendeta, pimpinan sinode, dan perwakilan lembaga Kristen. Dalam paparannya, Pdt. Darwin menyatakan bahwa gereja harus mengambil sikap serius terhadap kekerasan anak, yang seringkali menjadi fenomena "gunung es" karena banyak kasus tidak dilaporkan.

Ia menyoroti berbagai hambatan seperti budaya patriarki, anggapan kekerasan sebagai cara mendidik, hingga narasi religius yang memaksa korban untuk memaafkan demi nama baik gereja. Meski beberapa gereja telah memiliki kebijakan perlindungan anak dan membentuk satuan tugas, masih banyak gereja yang belum memiliki kemampuan dalam menghadapi persoalan tersebut.

Pdt. Darwin berharap diskusi ini menjadi langkah awal untuk membangun gereja yang lebih responsif terhadap hak dan perlindungan anak. "Evaluasi terhadap sejauh mana gereja menjadi ruang yang ramah anak harus terus dilakukan agar pelayanan gereja semakin relevan dengan kebutuhan dasar anak-anak,” ujarnya.

Sementara itu, Dr. Ahmad Sofyan mengingatkan bahwa eksploitasi seksual kini telah bergeser ke ranah digital. Ia mendorong orang tua untuk menjadi cakap digital agar dapat melindungi anak-anak dari kekerasan di ruang siber. "Anak-anak saat ini berpindah dari dunia nyata ke dunia maya yang penuh tantangan, maka orang tua perlu tahu aktivitas daring anak mereka,” jelas dosen Universitas Bina Nusantara ini.

Lebih jauh, Sofyan menekankan pentingnya lembaga keagamaan memiliki panduan perlindungan anak (child protection guide) dan membangun budaya yang aman bagi anak. Orang tua juga perlu mampu menangani kasus eksploitasi seksual online tanpa menyalahkan anak dan segera berkonsultasi dengan pihak profesional.

Diskusi diakhiri dengan sesi kelompok reflektif. Para peserta menyepakati bahwa PGI perlu mendorong anggotanya memiliki kebijakan perlindungan anak, menyosialisasikan pilot project Gereja Ramah Anak (GRA), melibatkan pusat krisis perempuan, serta meningkatkan edukasi berjenjang bagi para pemimpin gereja, pendeta, dan pembina remaja demi gereja yang aman bagi anak-anak. (RSO)