SIFAT-SIFAT ALLAH

Ia menjabarkan “logos” menjadi malaikat Yahweh dan juga nama Yahweh dalam Perjanjian Lama, dan menyebutkan suatu Allah yang kedua serta manusia Idaman, pola bagi manusia yang diciptakan-Nya.

Dalam Perjanjian Baru, “logos” dipakai baik dalam arti kata biasa, maupun dengan pengertian pesan Injil, seperti ditulis Markus, “Maka datanglah orang-orang berkerumun sehingga tidak ada lagi tempat, bahkan di muka pintu pun tidak. Sementara Ia memberitakan firman kepada mereka” (Mark. 2:2); Lukas menulis, “Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan firman Allah untuk melayani meja” (KPR. 6:2); Paulus menulis, “Dan baiklah dia, yang menerima pengajaran dalam Firman, membagi segala sesuatu yang ada padanya dengan orang yang memberikan pengajaran itu” (Gal. 6:6).

Dalam surat-surat kiriman kita dapat membaca tentang firman kehidupan, seperti ditulis Paulus, “Sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah” (Flp. 2:16); firman kebenaran, juga ditulis Paulus, “Di dalam Dia kamu juga – karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu – di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu” (Ef. 1:13); kabar keselamatan, seperti ditulis Lukas, “Hai saudara-saudaraku baik yang termasuk keturunan Abraham, maupun yang takut akan Allah, kabar keselamatan itu sudah disampaikan kepada kita” (KPR. 13:26); berita pendamaian, seperti ditulis, Paulus, “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2 Kor. 5:19); pemberitaan tentang salib, juga ditulisnya, “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus” (1 Kor. 1:18). Dalam bahasa Yunani semuanya disebut “logos”, yang artinya amanat Allah yang dinyatakan dalam Yesus Kristus, yang wajb diberitakan dan ditaati.

Philo, dalam pengajarannya tentang “logos” menyajikan kerangka teologis yang jelas, dimana firman memiliki suatu kesatuan yang mirip dengan Allah dan sekaligus memiliki perbedaan dengan-Nya, mengandung kegiatan mencipta dan memelihara semesta alam, dan juga memiliki kegiatan yang bersifat menyatakan diri kepada manusia.

Lebih lanjut konsep khas mengenai inkarnasi, setidak-tidaknya merupakan pengembangan yang tepat dari penyamaan logos menurut Philo dengan Manusia sejati. Jadi mungkin sekali di balik ini semua dijumpai penggunaan langsung dari konsep Philo atau pemikiran dari kelompok cendekiawan Yahudi yang menganut Helenisme.

Kita dapat mencatat 5(lima) pokok mengenai logos dalam pemikiran Philo, antara lain:

  1. Logos itu tidak memiliki kepribadian khusus. Logos digambarkan sebagai gambar Allah dan melalui gambaran itu seluruh alam semesta dibentuk. Tetapi karena logos juga digambarkan sebagai kemudi yang memimpin segala sesuatu dalam jalurnya, atau sebagai alat Allah untuk menata dunia, maka nampaknya jelas bahwa Philo tidak memikirkan bahwa logos itu berpribadi.
  2. Philo berbicara tentang logos sebagai anak sulung (Yunani: prologonos huios) Allah yang secara tidak langsung menyatakan keberadaan-Nya sebelum segala sesuatu ada. Tentu saja logos dianggap kekal, juga digambarkan sebagai duta (Yunani: presbeutes) Allah, sebagai pembela (Yunani: parakletos) manusia dan sebagai imam besar (Yunani: arkhiereus). Gambaran ini walaupun memberikan kesejajaran yang menarik dengan Yesus Kristus, namun tidak menyinggung soal keberadaan sebelum segala sesuatu ada.
  3. Gagasan logos tidak dihubungkan dengan terang dan hidup oleh Philo seperti halnya dalam Injil Yohanes, dan gabungan itu tidak dapat diambil dari pemikirannya, walaupun pasti akan menyenangkannya seandainya ia dapat mengetahuinya.
  4. Philo tidak menduga bahwa logos dapat menjadi manusia. Hal ini merupakan sesuatu yang asing bagi pemikiran orang Yunani, karena mereka percaya bahwa meteri memiliki sifat
  5. Dengan pasti Philo menganggap logos memiliki fungsi pengantara untuk menjembatani jurang pemisah antara Allah yang transenden dengan dunia. Logos itu baik, dia dapat dianggap sebagai personifikasi dari pengantara yang efektif, walaupun tidak pernah dinyatakan secara pribadi.

Kata “logos “ dalam bentuk jamaknya, yakni “ta logia”, berarti seluruh Perjanjian Lama atau suatu bagiannya yang khas. Dalam Kisah Para Rasul, “firman-firman yang hidup” menunjuk kepada dasa titah atau kepada seluruh isi Taurat Musa, seperti ditulis Lukas, “Musa inilah yang menjadi pengantara dalam sidang jemaah di padang gurun di antara malaikat yang berfirman kepadanya di gunung Sinai dan nenek moyang kita; dan dialah yang menerima firman-firman yang hidup untuk menyampaikannya kepada kamu” (KPR. 7:38).

Dalam surat Paulus kepada jemaat Roma, “ta logia” artinya ialah Perjanjian Lama, khususnya janji-janji Allah kepada Israel, seperti yang ditulis Paulus, “Banyak sekali, dan di dalam segala hal. Pertama-tama: sebab kepada merekalah dipercayakan firman Allah” (Rm. 3:2). Dalam surat Petrus, pemberitaan firman berarti pengkotbah wajib menjaga beritanya sedemikian rupa sehingga ia seolah-olah mengucapkan kitab Suci yang diilhamkan. Dia menulis, “Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah; jika ada orang yang melayani, baklah ia melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah, supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus. Ialah yang empunya kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin” (1 Ptr. 4:11). 

“Ta logia” muncul pula dalam Ibrani 5:12 yang berkata: “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras”. Kata dimaksud diterjemahkan dengan “penyataan Allah, yang berhubungan dengan dasar-dasar pada Perjanjian Lama maupun penyataan Allah melalui Anak-Nya, sebagaimana disaksikan oleh penulis Ibrani, “Maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr. 1:2). Akhirnya makna teologis dari “ta logia” ialah pengumuman-pengumuman Allah yang mempunyai kekuasaan, dan di hadapan-Nya manusia berdiri dengan hormat dan menyembah dengan merendahkan diri.

Kata Yunani: “rhema”, yang artinya kata yang diucapkan, lalu menjadi inti ucapan, dan kenyataan. Juga memperoleh pengertian “firman Allah”, seperti “logos”, dan dengan demikian berarti “Injil Kristen”. Matius menulis, “Tetapi Yesus menjawab: Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4); Lukas menulis, “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu” (Luk. 2:29); Yohanes menulis, “Kata Yesus kepada mereka: Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 3:34); Petrus menulis, “Tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya. Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu” (1 Ptr. 1:25).

Dalam perkembangannya timbul juga arti lain dari kata “rhema”, yaitu pengakuan umat Tuhan yang membawa mereka kepada keselamatan yang diperoleh di dalam Kristus Yesus, seperti ditulis Paulus, “Untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman” (Ef. 5:26).         

  1. Allah menyatakan diri-Nya melalui pengalaman pribadi

Banyak tokoh-tokoh iman yang mengakui bahwa mereka memiliki persekutuan pribadi dengan Allah. Mereka menyatakan bahwa mereka mengenal Dia, bukan hanya melalui alam, sejarah, hati nurani, juga bukan hanya melalui mujizat dan nubuat, tetapi juga melalui pengalaman pribadi mereka. Kitab Kejadian menyaksikan bahwa Henokh hidup bergaul akrab dengan Allah. Ia membangun hubungan yang intim dengan Allah setiap saat, seperti ditulis Musa, “Dan Henokh hidup bergaul dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah” (Kej. 5: 24). Ia juga menyaksikan bahwa Allah berbicara kepada Nuh, dengan menulis, “Berfirmanlah Allah kepada Nuh: Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hidup segala makhluk, sebab bumi telah penuh dengan kekerasan oleh mereka, jadi Aku akan memusnahkan mereka bersama-sama dengan bumi” (Kej. 6:13). Nuh sungguh-sungguh taat kepada perintah Allah. Ketika Allah menyuruhnya untuk membangun bahtera, ia menuruti perintah itu sehingga ia dan keluarganya selamat dari hukuman air bah.

Musa juga menyaksikan bahwa Allah berbicara kepada Abraham, dan ia mengikuti apa yang difirmankan Allah dan bergaul akrab dengan-Nya, sehingga dia menjadi bapa banyak bangsa dan menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Musa menulis, “Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu” (Kej. 12:1). Juga Allah berbicara kepada Musa sendiri, seperti ditulisnya, “Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: Musa, Musa, dan ia menjawab: Ya, Allah” (Kel. 3:4). Musa pada akhirnya menjadi pemimpin bangsa Israel yang penuh kuasa yang membawa mereka keluar dari tanah perbudakan di Mesir. 

Demikian pula dalam Perjanjian Baru, Allah berbicara dengan Yesus Kristus, seperti ditulis Matius, “Sesudah dibaptis, Yesus segera keluar dari air dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati turun ke atas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat. 3:16-17). Dia berbicara kepada Paulus, seperti ditulis Lukas, “Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah olehnya suatu suara yang berkata kepadanya: Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? Jawab Saulus: Siapakah Engkau, Tuhan? Kata-Nya: Akulah Yesus yang kau aniaya itu” (KPR. 9:4-6). Pengalaman perjumpaannya dengan Tuhan Yesus, menjadikan Paulus sebagai seorang rasul yang luar biasa yang mengabdikan hidupnya untuk menyampaikan Injil kepada orang-orang non Yahudi. Dan melalui pelayanannya banyak gereja di masa Perjanjian Baru berdiri.

John Newton adalah seorang pedagang budak dari Inggris, yang mengangkut para budak dengan kapal laut dari benua Afrika kemudian dijual ke Eropa. Ia adalah seorang yang suka mengumpat dan tidak mengakui ajaran firman Tuhan. Menjadi salah satu kebiasaan dari John Newton bahwa jika ada budak wanita dewasa, pastilah akan diperkosanya. Di Tahun 1748 dalam perjalanannya mengangkut para budak, kapal Greyhound yang ditumpanginya bocor dan dihantam ganasnya badai samudera Atlantik. Sebuah ayat Alkitab yang pernah diajarkan oleh ayahnya pada waktu dia masih anak-anak timbul dalam pikirannya, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang memintanya kepada-Nya” (Luk. 11:13). Ayat dimaksud mempengaruhinya sehingga dia mau berdoa, “Ya Allah, jika Engkau benar, Engkau pasti menepati janji-Mu. Sucikanlah hatiku yang kotor ini”. Sesampainya di sebuah pelabuhan di Irlandia, dia pergi ke gereja dan di sana ia mengakui serta menerima Kristus sebagai Juruselamatnya. Orang yang tidak mau menerima ajaran firman Allah dan yang selalu mengumpat itu akhirnya menjadi seorang pengkhotbah untuk para pelaut. Kesaksian tentang kebaikan Allah diungkapkannya dalam sebuah lagu pujian yang sampai saat ini masih dinyanyikan oleh banyak jemaat Tuhan, “Sangat besar anugerah-Mu yang b’ri aku s’lamat. Ku t’lah hilang Tuhan dapat, buta s’karang lihat” (Amazing Grace). 

Pengalaman hidup dengan Allah memiliki dampak yang mengubah kehidupan orang-orang yang mengalaminya, sehingga pemazmur menulis, “Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri dan tidak akan malu tersipu-sipu” (Maz. 34:6). Mereka juga makin menyerupai Allah, seperti ditulis Lukas, “Semua orang yang duduk dalam sidang Mahkamah Agama itu menatap Stefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat (KPR. 6:15).

Persekutuan dengan Allah juga disertai penyataan kebenaran yang lebih dalam lagi tentang Dia. Penyataan-Nya dalam pengalaman pribadi juga merupakan sumber utama yang digunakan Roh Kudus ketika mengilhami para penulis Alkitab. Dengan demikian, dalam penyataan-penyataan-Nya, yang disaksikan dalam Alkitab, kita memperoleh materi untuk teologi dan memungkinkan tersusunnya teologi.

 

 

3. SIFAT-SIFAT ALLAH

Sifat Allah adalah dasar watak, tabiat, perangai, kelakuan, tingkah laku-Nya. Dan ada berbagai sifat-Nya yang dapat disebut juga sebagai kesempurnaan-Nya.  Walaupun pada suatu waktu tertentu Dia menunjukkan salah satu sifat-Nya, namun tidak ada sifat-Nya yang berdiri sendiri atau yang lebih unggul dari pada sifat-sifat yang lain. Apabila Dia menunjukkan murka-Nya misalnya, maka Ia tetaplah Allah yang pengasih. Ketika Ia menunjukkan kasih-Nya, maka Ia tetaplah Allah yang adil.

Bila kita mendaftarkan semua sifat Allah, kita belum sepenuhnya mampu menggambarkan-Nya, karena Ia tidak bisa dipahami seutuhnya. Dia adalah Allah yang transenden. Bahkan jikalau kita mengatakan bahwa kita memiliki daftar lengkap dari seluruh sifat-Nya, kita tidak dapat mengukur artinya, sebab kita yang terbatas tidak mungkin dapat mengerti tentang Allah yang tidak terbatas.

Sifat-sifat Allah dinyatakan kepada kita melalui penyataan-Nya. Kita tidak memberi sifat-sifat itu kepada-Nya, tetapi Dia menyatakannya kepada kita. Ia memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

  1. Kekal

Allah selalu ada dan tak pernah berakhir. Keberadaan-Nya tak berujung pangkal baik ke masa silam maupun ke masa depan, tidak terbatas, yang disebabkan oleh rangkaian peristiwa. Kekekalan Allah sebagai kesempurnaan-Nya di mana Ia ditinggikan di atas segala batas-batas yang sifatnya sementara dan segala rangkaian waktu.

Bertalian dengan kekekalan Allah, beberapa teolog memakai kata Ibrani, “aseity” untuk menunjukkan keberadaan-Nya, dimana Ia bergantung pada diri-Nya sendiri. Jika Allah ada tanpa permulaan dan tanpa akhir, maka Ia tidak  pernah menjadi ada  dan juga tidak pernah disebabkan untuk menjadi ada. Ia tidak berujung pangkal, tidak berawal dan tidak berakhir. Ia adalah Allah yang kekal (Ibrani: “El Olam”), sebagaimana ditulis oleh pemazmur, “Dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah” (Maz. 90:2b).

Sebagai suatu Pribadi yang kekal, Allah memandang masa lalu dan masa depan kita sejelas masa kini. Ia tidak akan pernah berhenti ada, kuasa-Nya yang terus menerus mengatur segala sesuatu dan segala peristiwa adalah terjamin.

 

  1. Bebas

Allah tidak bergantung dari makhluk-makhluk dan ciptaan-Nya, seperti ditulis Yesaya, “Siapa yang dapat mengatur Roh TUHAN atau memberi petunjuk kepada-Nya sebagai penasehat? Kepada siapa TUHAN meminta nasehat untuk mendapat pengertian, dan siapa yang mengajar TUHAN untuk menjalankan keadilan, atau siapa mengajar Dia pengetahuan dan memberi Dia petunjuk supaya Ia bertindak dengan pengertian?” (Yes. 40:13-14). Ia hanya dibatasi oleh sifat-Nya sendiri yakni kesucian-Nya yang menahan-Nya untuk berbuat dosa. Dalam hubungan dengan kesempurnaan-Nya, tidak ada keterbatasan pada-Nya.

Karena bebas, maka Allah tidak memiliki kewajiban apa pun kepada kita, namun Ia memilih untuk berkewajiban kepada kita. Ia tidak harus melakukan apa pun bagi kita, namun Ia memilih untuk melakukannya bagi kita. Karena itu kita tidak dapat menuntut Dia.

  1. Tidak berubah

Allah tidak dapat berubah karena Ia tidak berubah. Ia tetap, tidak bertumbuh atau berkembang. Sebagai Allah yang tidak berubah, maka Ia menjamin keberadaan Israel, bahkan keberadaan kita sebagai anak-anak-Nya, seperti ditulis oleh Yakobus, ”Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak. 1:17).

Ketidak-berubahan-Nya memberikan penghiburan dan jaminan kepada kita bahwa janji-janji-Nya tidak pernah gagal. Dia tidak pernah lalai dalam menepati janji-janji-Nya. Apa yang telah difirmankan-Nya pasti digenapi, sebagaimana ditulis Maleakhi, ”Bahwasanya Aku, TUHAN, tidak berubah, dan kamu, bani Yakub, tidak akan lenyap” (Mal. 3:6). Paulus juga menulis, ”Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2 Tim. 2:13). Ketidak-berubahan Allah mengingatkan kita bahwa sikap-Nya terhadap dosa juga tidak berubah, sehingga Ia tidak pernah dapat dibujuk atau berkompromi dengan dosa.

d.       Tidak terbatas

Allah tidak terikat atau terbatas. Ia tidak mungkin dibatasi oleh alam semesta atau oleh batas-batas ruang dan waktu. Tetapi itu tidak berarti bahwa Ia terpencar-pencar, sebagian di sini dan juga sebagian di sana.

Dalam doanya Salomo mengakui ketidakterbatasan Allah pada saat peresmian bait Allah dengan berkata, ”Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langit pun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini” (1 Raj. 8:27). Paulus menyaksikan tentang ketidakterbatasan Allah pada saat ia berdebat melawan kepalsuan allah orang-orang Atena, dengan menulis:

 ”Allah telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan apa-apa, karena Dialah yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing” (KPR. 17:24-27).

 

Sifat di atas itulah yang dinamakan dengan “keluasan” (immensity), yakni bahwa Ia tidak dibatasi oleh ruang.

e.       Suci

Dalam Alkitab kesucian berarti pemisahan dari hal-hal yang najis, yang diterjemahkan dari kata Ibrani, “qadosh”, yang artinya kudus. Kesucian berarti bahwa tidak ada kejahatan, dan hanya ada kebenaran yang ada pada Allah. Namun kesucian-Nya bukan hanya berarti bahwa Ia terpisah dari segala sesuatu yang najis dan jahat, tetapi juga bahwa Ia benar-benar suci, sehingga berbeda dengan allah yang lain.  

Kesucian Allah adalah kemurnian keberadaan, sifat, kehendak serta tindakan-Nya. Pada akhirnya kesucian adalah sifat yang Ia inginkan untuk dimiliki semua orang, seperti ditulis Musa, ”Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang mengeriap dan merayap di atas bumi” (Im. 11:44). Yosua juga menulis, ”Tetapi Yosua berkata kepada bangsa itu: Tidakkah kamu sanggup beribadah kepada TUHAN, sebab Dialah Allah yang kudus, Dialah Allah yang cemburu. Ia tidak akan mengampuni kesalahan dan dosamu” (Yos. 24:19).

Kesucian Allah yang mutlak itu berarti bahwa orang berdosa terpisah dari Dia, Mereka dapat menjadi suci hanya melalui suatu jalan yang telah disediakan-Nya di dalam karya Kristus. Dan gambaran tentang kesucian Allah seharusnya menjadikan kita peka terhadap dosa, seperti ditulis Yesaya, ”Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya. . . . . .Lalu kataku: Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam” (Yes. 6:3,5).

Kesucian Allah merupakan standar bagi kehidupan dan kelakuan kita, seperti ditulis Yohanes, ”Tetapi jika kita hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang, maka kita beroleh persekutuan seorang dengan yang lain, dan darah Yesus, Anak-Nya itu, menyucikan kita dari pada segala dosa” (1 Yoh. 1:7). Dan walaupun seringkali kita tidak mampu memenuhinya, bukan berarti bahwa kita boleh kompromi. Sama sekali tidak! Kita dituntut untuk hidup suci di hadapan Allah.

  1. Kasih

Yohanes menyaksikan bahwa Allah adalah kasih, dengan menulis, ”Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1 Yoh. 4:8). Ungkapan ini menunjukkan bahwa inilah sifat-Nya. Dan ungkapan ini tidak dapat dibalik, bahwa “kasih adalah Allah”, seperti dalam pemahaman Christian Science.

Karena Allah adalah kasih (Yunani: agape), maka harus ada suatu interaksi kasih. Ia yang adalah kasih, mengizinkan diri-Nya mengasihi orang berdosa. Itu adalah anugerah, seperti ditulis Paulus, ”Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita - oleh kasih karunia kamu diselamatkan” (Ef. 2:4-5). Kasih-Nya telah dicurahkan ke dalam hati kita seperti yang ditulis Paulus, ”Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita” (Rm. 5:5).  

Dalam menghadapi berbagai pencobaan, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, seperti yang ditulis dalam surat Ibrani, “Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak” (Ibr. 12:6). Yang erat hubungannya dengan kasih adalah kebaikan, belas kasihan, kesabaran, dan anugerah. Kebaikan-Nya dapatlah didefinisikan sebagai perhatian-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya, seperti ditulis Lukas, ”Namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan” (KPR. 14:17).

Belas kasihan adalah aspek dari kebaikan Allah yang menyebabkan Dia menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kita, seperti ditulis Paulus, ”Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkan-Nya kepada kita” (Ef. 2:4). Yakobus juga menulis, ”Sesunguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun, kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan adalah maha penyayang dan penuh belas kasihan” (Yak. 5:11). Kesabaran-Nya berbicara tentang Ia yang menahan murka-Nya karena pelanggaran-pelanggaran kita sebagaimana yang ditulis oleh Petrus, ”Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya” (2 Ptr. 3:15). Anugerah adalah kebaikan Allah yang dinyatakan kepada kita di dalam karya Kristus. Konsep-konsep ini saling berhubungan dan berasal dari kasih-Nya.

Bidat Universalisme mengajarkan bahwa karena Allah adalah kasih maka Ia pada akhirnya akan menyelamatkan semua orang. Ini pemahaman yang keliru. Sesungguhnya kasih-Nya tidak dapat dipisahkan dari sifat-Nya yang lain, termasuk kesucian dan keadilan. Kasih-Nya tidak dapat menggagahi kesucian-Nya, lalu menyelamatkan mereka yang menolak Dia. Universalisme tidak mempunyai definisi yang memadai tentang kasih karena ia hanya melihat aspek kasih dan melupakan aspek koreksi. Ajarannya sangat bertentangan dengan kebenaran firman Tuhan.

  1. Mahakuasa

Mahakuasa berarti bahwa Allah kuat dalam segala-galanya dan sanggup melakukan apa saja, sesuai dengan sifat-Nya (Ibrani: El Shadai). Ia mengatakan diri-Nya sebagai yang Mahakuasa kepada Abraham, yang ditulis oleh Musa, “Ketika Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya: Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela. Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dengan engkau, dan Aku akan membuat engkau sangat banyak” (Kej. 17:1). Musa juga menulis, “Aku telah menampakkan diri kepada Abraham, Ishak dan Yakub sebagai Allah Yang Mahakuasa, tetapi dengan nama-Ku TUHAN Aku belum menyatakan diri” (Kel. 6:2). Kepada jemaat Korintus, Paulus menulis, “Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan demikianlah firman Tuhan, Yang Mahakuasa” (2 Kor. 6:18).

Kemahakuasaan Allah memiliki keterbatasan dalam 2 (dua) hal yakni:

1)   Pembatasan yang wajar, yakni hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh Allah karena bertentangan dengan sifat-Nya, yakni: (1) Ia tidak dapat berdusta, seperti ditulis Paulus, ”Dan berdasarkan pengharapan akan hidup yang kekal yang sebelum permulaan zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang tidak berdusta” (Tit. 1:2); (2) Ia tidak dapat dicobai untuk berdosa, seperti ditulis Yakobus, ”Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: Pencobaan ini datang dari Allah! Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun” (Yak. 1:13); (3) Ia tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, sebagaimana ditulis Paulus, ”Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2 Tim. 2:13).

2)   Pembatasan yang dikenakan sendiri, yakni hal-hal yang tidak dipilih Allah untuk dimasukkan ke dalam rencana-Nya, yakni: Ia tidak memilih untuk tidak mengorbankan Anak-Nya; Ia tidak memilih untuk menyelamatkan semua orang; Ia tidak memilih semua bangsa pada zaman Perjanjian Lama; Ia tidak memilih Esau.

Kuasa Allah tampak dalam penciptaan, seperti ditulis oleh pemazmur, ”Sebab Dia berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka semuanya ada” (Maz. 33:9). Dia menopang segala sesuatu, sebagaimana ditulis penulis surat Ibrani, ”Ia adalah cahaya kemuliaan dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi” (Ibr. 1:3).

Kuasa-Nya juga nampak pada waktu membebaskan bangsa Israel dari Mesir, dan kejadian yang ajaib terjadi pada saat itu  (Maz. 114). Namun pertunjukan terbesar dari kuasa-Nya adalah dengan membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati, seperti ditulis Paulus, ”Karena sekalipun Ia telah disalibkan oleh karena kelemahan, namun Ia hidup karena kuasa Allah. Memang kami adalah lemah di dalam Dia, tetapi kami akan hidup bersama-sama dengan Dia untuk kamu karena kuasa Allah” (2 Kor. 13:4).

Kuasa Allah berhubungan dengan kehidupan kita sehari-hari, seperti Ezra menulis  ”Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkau-lah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya” (1 Taw. 29:12); berhubungan juga dengan Injil, seperti ditulis Paulus, ”Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani” (Rm. 1:16); berhubungan juga dengan keselamatan, seperti ditulis Petrus, ”Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada akhir zaman” (1 Ptr. 1:5); juga berhubungan dengan pengharapan akan kebangkitan tubuh, seperti ditulis Paulus, ”Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya” (1 Kor. 6:14).

  1. Mahahadir

 Mahahadir berarti bahwa Allah hadir di mana-mana dengan seluruh keberadaan-Nya pada segala waktu, sehingga Daud bertanya: ”Ke mana aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari kegelapan-Mu?” (Maz. 139:7). Dengan kata lain apakah ada tempat dimana seseorang dapat melepaskan diri dari hadirat Allah? Sesungguhnya tidak, karena kemahahadiran-Nya tidak dibatasi oleh ruang, tidak gentar oleh kecepatan, dan tidak dipengaruhi oleh gelap. Daud menulis pula, ”Jika aku mendaki ke langit Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku. Jika aku berkata: Biarlah kegelapan saja melingkupi aku, dan terang sekelilingku menjadi malam, maka kegelapan pun tidak menggelapkan bagi-Mu, dan malam menjadi terang seperti siang; kegelapan sama seperti terang” (Maz. 139:8-12).

Kemahahadiran Allah bukan berarti bahwa diri-Nya disebarkan ke seluruh alam semesta seolah-olah sebagian di sini dan sebagian di sana. Seluruh keberadaan-Nya ada di mana-mana, di setiap tempat. Dan kehadiran-Nya di dalam kita memberikan contoh tentang hal ini.

Kemahahadiran Allah berbeda dengan pandangan panteisme yang menyamakan alam semesta dengan Allah. Mereka mengajarkan bahwa Allah adalah pikiran atau jiwa dari alam semesta. Mereka tidak mampu membedakan antara pencipta dan ciptaan. Mahahadir juga berbeda dengan pemahaman para “teolog proses” yang menjelaskan bahwa diri Allah menembus seluruh alam semesta tetapi tidak dihabiskan oleh alam semesta.

Mahahadir sebenarnya berarti bahwa Allah berada di mana-mana, tidak disebarkan atau menembus alam semesta, tidak sedang berkembang sebagaimana yang mereka ajarkan. Tidak ada seorang pun yang dapat melarikan diri dari hadirat-Nya. Ini merupakan peringatan bagi orang fasik, sekaligus penghiburan bagi kita, yang karena Ia adalah Mahahadir, dapat hadir pada setiap keadaan hidup kita.

  1. Mahatahu

Mahatahu berarti bahwa Allah mengetahui segala sesuatu. Ia mengetahui dan tanpa kesulitan mengetahui semua perkara, semua pikiran dan setiap pikiran, semua roh, semua dan setiap makhluk dan ciptaan, setiap perbedaan dan semua perbedaan, semua dan setiap hukum, semua hubungan, semua sebab, semua pikiran, semua rahasia, semua teka-teki, semua perasaan, semua kerinduan, semua rahasia yang tak diucapkan, semua takhta dan penguasa, semua pribadi, semua yang tampak maupun tak tampak di sorga dan di bumi, gerakan, ruang, waktu, hidup, kematian, baik, jahat, sorga dan neraka.

Karena Allah mengetahui segalanya dengan sempurna, Ia tidak hanya mengetahui sesuatu lebih baik daripada yang lain, tetapi semuanya Dia ketahui sama baiknya. Ia tak pernah menemukan sesuatu, tak pernah heran, tak pernah terkejut. Ia tak pernah ingin tahu tentang sesuatu atau mencari informasi tentang sesuatu.

Allah mengetahui semua karya-Nya sejak dari permulaan, seperti yang ditulis Lukas, “Yang telah diketahui dari sejak semula” (KPR. 15:18). Ia menghitung dan menamai bintang-bintang, seperti yang ditulis oleh pemazmur, “Ia menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebut nama-nama semuanya” (Maz. 147:4).

Allah menunjukkan kemahatahuan-Nya ketika Ia menyatakan apa yang akan terjadi di Tirus dan Sidon, seperti ditulis Matius, ”Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung” (Mat. 11:21).

Allah mengetahui segala sesuatu tentang hidup kita sebelum kita dilahirkan, seperti ditulis Daud, ”Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya” (Maz. 139:16).

Bertalian dengan kemahatahuan Allah, dapatlah dikatakan bahwa:   

1)   Allah kita Mahatahu, sehingga tak sesuatu pun yang datang dalam kehidupan kita yang akan mengejutkan-Nya.

2)   Allah kita Mahatahu dan peka; setiap peringatan yang Allah berikan kepada kita datang dari satu Pribadi yang Mahatahu. Karena itu kita harus peka terhadap peringatan itu. Ia tidak memperingatkan kita atas dasar hanya menerka apa yang mungkin terjadi, tetapi sungguh-sungguh akan terjadi.

3)   Allah kita Mahatahu dan memberikan penghiburan; bila diperhadapkan dengan keadaan yang sulit, kita selalu mendapatkan penghiburan di dalam kemahatahuan Allah. Ia tahu apa yang sedang terjadi, juga tahu apa yang mungkin akan terjadi. Ia juga selalu tahu kebaikan dan kemuliaan apa pada akhirnya akan muncul dari kejadian-kejadian yang tidak dapat kita mengerti, seperti ditulis Paulus, ”Kita tahu sekarang, bahwa Alah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28).

4)   Allah kita Mahatahu dan memberikan ketenangan hati; dalam masalah dan tekanan yang menghimpit kita, Tuhan memanggil kita untuk datang kepada-Nya dan Ia berjanji akan memberikan ketenangan dan kelegaan. Yesus berkata, ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). 

  1. Adil

Keadilan adalah merupakan sebuah sifat Allah yang berbeda dengan kesucian. Kesucian berkenaan dengan keterpisahan-Nya, sedangkan keadilan berkenaan dengan peradilan-Nya. Ia adil dalam melakukan tindakan.   

Dalam hubungan dengan diri-Nya, tidak ada hukum baik di dalam diri-Nya sendiri atau pun yang dibuat-Nya yang dilanggar oleh sesuatu sifat-Nya. Dalam hubungan dengan makhluk ciptaan-Nya, tidak ada tindakan yang diambil-Nya yang melanggar suatu  moralitas atau keadilan, seperti ditulis Daud, “Sebab TUHAN adalah adil dan Ia mengasihi keadilan” (Maz. 11:7a).

  1. Sederhana

Sifat sederhana berarti bahwa Allah bukan suatu Pribadi campuran atau terdiri dari berbagai campuran. Sifat-Nya ini mengingatkan kita bahwa bila kita merenungkan-Nya sebagai satu pribadi Tritunggal, Ia tidak dapat dibagi-bagi atau tersusun dari bagian-bagian atau berciri ganda. Di dalam inkarnasi, memang Allah kita menjadi daging, tetapi keallahan Allah-Manusia itu hanya Roh, seperti ditulis Yohanes, “Allah itu Roh” (Yoh. 4:24a).

  1. Berdaulat

Berdaulat sama artinya dengan yang utama, kepala, yang tertinggi. Dalam kaitan dengan kedudukan Allah, bahwa Ia adalah Pribadi yang utama di alam semesta; Ia penguasa alam semesta. Seseorang yang berdaulat dapat menjadi seorang diktator, namun tidaklah demikian dengan Allah; seseorang yang berdaulat dapat melepaskan tanggung jawab penggunaan kuasanya, namun tidaklah dengan Allah.

Manusia diciptakan oleh Allah dengan kebebasan murni, tetapi dalam kebebasannya mereka memberontak terhadap Allah, dan menjadikan mereka berdosa. Meskipun Ia adalah perancang rencana itu, Ia sama sekali tidak terlibat di dalam perbuatan jahat itu. Jadi kedaulatan tidak harus menghapuskan kehendak bebas, dan kehendak bebas tidak pernah harus menipiskan kedaulatan.

  1. Benar

Sesungguhnya bahwa Allah kita adalah yang benar, dalam pengertian bahwa Ia konsisten dengan diri-Nya sendiri. Ia telah menyatakan diri-Nya, dan bahwa penyataan-Nya sepenuhnya dapat dipercaya.

Kebenaran Allah berarti sesuai dengan apa yang digambarkan, dan mencakup gagasan tentang kejujuran, kesetiaan dan konsistensi-Nya. Dia adalah satu-satunya Allah yang benar, seperti ditulis Yohanes, ”Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh. 17:3). Ia tidak dapat berdusta, seperti ditulis Paulus, ”Dan berdasarkan pengharapan akan hidup yang kekal yang sebelum permulaan zaman sudah dijanjikan oleh Allah yang tidak berdusta” (Tit. 1:2). Ia selalu dapat dipercaya, seperti ditulis Paulus, ”Sekali-kali tidak! Sebaliknya: Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong, seperti ada tertulis: Supaya Engkau ternyata benar dalam segala firman-Mu, dan menang, jika Engkau dihakimi” (Rm. 3:4).

Karena Allah adalah benar, maka Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang tdak konsisten dengan diri-Nya. Janji-janji-Nya tidak pernah dapat diingkari atau tidak digenapi-Nya, seperti ditulis Paulus, ”Jika kita tidak setia, Da tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya” (2 Tim. 2:13). Dan Alkitab adalah perkataan-Nya yang sungguh-sungguh benar dan tanpa salah, yang penulisannya merupakan ilham yang diberikan kepada para penulis, seperti ditulis Paulus, ”Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Tim. 3:16).  

  1. Esa

Esa berarti bahwa hanya ada satu Allah yang tak dapat dibagi-bagi. Keesaan Allah merupakan sebuah pernyataan utama di dalam Perjanjian Lama seperti yang dicontohkan dalam “pengakuan iman Israel (Ibrani: shema; Arab: syahadah), yang arti harafiahnya, “TUHAN itu Allah kita, TUHAN Esa” (Ul. 6:4). Ayat ini dapat diterjemahkan sebagai berikut: (1) “Tuhan adalah Allah kita, Tuhan itu esa”, yang menekankan keesaan-Nya. (2) “Tuhan adalah Allah kita, Tuhan saja”, yang menekankan keunikan-Nya yang kontras dengan dewa-dewa kafir.

Perjanjian Baru pernyataannya yang jelas mengenai Trinitas, menguatkan kesatuan Allah, seperti ditulis Paulus, ”Satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef. 4:6); ”Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup” (1 Kor. 8:6). Ini berarti bahwa Pribadi-pribadi dari Trinitas Allah bukan zat-zat yang terpisah di dalam zat ilahi yang satu. Allah adalah esa dalam jumlah dan keunikan. Satu-satunya Allah yang sebenarnya yang ada ialah Dia yang dinyatakan terutama dalam Alkitab dan dinyatakan oleh sifat-sifat atau kesempurnaan keberadaan-Nya.  


4. NAMA-NAMA ALLAH

 

Banyaknya nama Allah di dalam Alkitab menyaksikan dan menggambarkan tentang sifat-sifat-Nya. Ini bukan sekedar nama yang diberikan oleh orang, tetapi merupakan penggambaran Allah tentang diri-Nya sendiri.

Bahkan sekalipun tidak ada nama tertentu yang dipakai, ungkapan ”Tuhan” digunakan untuk menyatakan tentang sifat-Nya. Misalnya, menyerukan nama Tuhan sama artinya dengan menyembah-Nya. Musa menulis, ”Lalu Abraham menanam sebatang pohon tamariska di Bersyeba, dan memanggil di sana nama TUHAN, Allah yang kekal” (Kej. 21:33). Menyebut nama-Nya dengan sia-sia sama artinya dengan tidak menghormati-Nya, seperti ditulis Musa, ”Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan” (Kel. 20:7). Tidak mengikuti tuntutan hukum berarti mencemarkan nama-Nya, seperti juga ditulis Musa, ”Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seorang perempuan bersalin dan melahirkan anak laki-laki, maka najislah ia selama tujuh hari. Sama seperti pada hari-hari ia bercemar kain ia najis” (Im. 22:2). Nama-Nya menjanjikan kesinambungan bangsa Israel, seperti ditulis dalam 1 Samuel, ”Sebab TUHAN tidak akan membuang umat-Nya, sebab nama-Nya yang besar. Bukankah TUHAN telah berkenan untuk membuat kamu menjadi umat-Nya” (1 Sam. 12:22).

Bertalian dengan nama-nama Allah, maka nama-nama-Nya dapatlah digolongkan sebagai berikut:

  1. Nama Pribadi

Nama pribadi dari Allah kita adalah Yahweh, yang pertama-tama digunakan oleh Hawa, seperti ditulis Musa, “Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, istrinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain; maka kata perempuan itu: Aku telah mendapat seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN” (Kej. 4:1). Nama Yahweh digunakan oleh orang-orang di zaman Set, sesuai tulisan Musa, “Lahirlah seorang anak laki-laki bagi Set juga dan anak itu dinamainya Enos. Waktu itulah orang mulai memanggil nama TUHAN” (Kej. 4:26). Digunakan juga oleh Nuh, seperti ditulis Musa, ”Lalu katanya: Terpujilah TUHAN, Allah Sem, tetapi hendaklah Kanaan menjadi hamba baginya” (Kej. 9:26). Digunakan juga oleh Abraham, sesuai tulisan Musa, ”Kemudian ia pindah dari situ ke pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur. Lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan memanggil nama TUHAN” (Kej. 12:8).

Kepada Musa arti sesungguhnya dari Yahweh dibukakan. Ia berkata bahwa walaupun Ia telah menyatakan diri kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, Ia belum dikenal oleh mereka dengan nama Yahweh. Arti yang paling lengkap dan dalam dari nama itu belum dikenal. Musa menulis, “Lagi Ia berfirman: Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Lalu Musa menutupi mukanya, sebab ia takut memandang Allah” (Kel. 3:6). Penyataan-Nya kepada Musa melalui belukar yang menyala, yang menyebut diri-Nya sebagai “AKU ADALAH AKU”, yang artinya Aku akan senantiasa ada dan yang akan ada; “Firman Allah kepada Musa: AKU ADALAH AKU. Lagi firman-Nya: Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu” (Kel. 3:14).

Nama Yahweh menekankan keberadaan Allah yang tak berubah, seperti ditulis Yohanes, “Kata Yesus kepada mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yoh. 8:58). Ia senantiasa menyertai umat-Nya, seperti yang ditulis Musa, “Lalu firman-Nya: Bukankah Aku akan menyertai engkau? Inilah tanda bagimu, bahwa Aku yang mengutus engkau: apabila engkau telah membawa bangsa itu keluar dari Mesir, maka kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini” (Kel. 3:12).

Nama Yahweh berkaitan dengan kuasa Allah yang bekerja bagi umat-Nya Israel untuk memelihara perjanjian-Nya dengan mereka, yang dilukiskan dan dikuatkan oleh karya-Nya dalam melepaskan mereka dari Mesir, seperti ditulis Musa, “Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allahmu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir” (Kel. 6:6).

Setelah kembali dari pembuangan di Babel, yakni sekitar tahun 450 sM, nama Yahweh yang merupakan nama pribadi dari Allah, oleh orang-orang Yahudi mulai dipandang sakral sehingga tidak mereka ucapkan lafalnya. Mereka merasa tidak sepatutnya untuk menyebut nama pribadi dari Allah mereka yang Mahakudus, Mahamulia, Mahaadil, Mahasuci. Mereka menganggap tidak etis. Nama umum yakni Adonai yang artinya majikan, penguasa, mereka jadikan ganti nama dimaksud. Pada masa inilah kita kenal dengan lahirnya Yudaisme atau agama Yahudi, dimana Ezra-lah yang dianggap sebagai pelopornya.

Pada tahun 150 sM oleh 70 orang tua-tua Yahudi, Alkitab Perjanjian Lama yang tentu saja ditulis dalam bahasa Ibrani dan Aram, mereka terjemahkan ke dalam bahasa Yunani atau yang lebih dikenal dengan terjemahan Septuaginta (LXX). Terjemahan ini sering juga disebut sebagai terjemahan misioner. Baik nama Yahweh maupun Adonai, kedua-duanya mereka terjemahkan dengan menggunakan kata Yunani, ”Kurios”; Inggris, ”Lord”, yang juga artinya pemilik, penguasa. Untuk membedakan kedua nama dimaksud, maka Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menterjemahkan nama pribadi dari Allah yakni Yahweh dengan TUHAN, sedangkan Kurios diterjemahkan Tuhan.

Secara teologis kita tidak dianjurkan untuk mencari, memanggil, menyebut nama Yahweh sebagaimana dalam agama Israel Kuno (Yahwisme), karena justru Yahweh sudah menyatakan diri-Nya atau menyingkapkan diri-Nya atau memperkenalkan diri-Nya kepada kita dalam diri Yesus. Yesus berasal dari kata Yunani, “Iesous”, dan dari kata Ibrani, “Y’hosyua” (singkatan dari Yahweh Hosyua) yang artinya “Yahweh Keselamatan”. Yahweh telah datang ke dunia dalam rupa  manusia Yesus untuk menyelamatkan kita. Dan karenanya para penulis Alkitab Perjanjian Baru baik Paulus, Petrus, dan lain-lain, dalam tulisannya tidak pernah menyebut nama Yahweh (Indonesia: “TUHAN”), tetapi Kurios, karena mereka mengerti bahwa Yesus Kristus adalah penyataan diri Yahweh. Untuk berjumpa dengan Yahweh secara pribadi dan memperoleh keselamatan, justru kita harus datang kepada Yesus, seperti ditulis Yohanes, “Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6). Ibarat kalau kita mau berkunjung atau tinggal di Amerika, kita tidak harus meminta visa langsung kepada presiden Amerika, tetapi melalui duta besarnya yang ada di Jakarta.

Nama-nama gabungan yang bertalian dengan Yahweh, yang merupakan gelar-gelar dalam memperingati suatu peristiwa tertentu, antara lain:

1)   Yahweh-Yireh yang artinya Tuhan menyediakan semua kebutuhan dan keperluan kita. Pada waktu Allah meminta kepada Abraham untuk mempersembahkan Ishak anaknya sebagai korban persembahan bagi-Nya, maka Abraham sungguh-sungguh menuruti perintah Allah. Tatkala ia akan menyembelih anaknya yang tunggal itu, maka Allah berfirman: ”Jangan bunuh anak itu dan jangan kau apa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku” (Kej. 22:12). Dan Allah menyediakan seekor domba jantan sebagai korban bakaran bagi-Nya sebagai pengganti Ishak, seperti ditulia Musa, ”Lalu Abraham menoleh dan melihat seekor domba jantan di belakangnya yang tanduknya tersangkut dalam belukar. Abraham mengambil domba itu, lalu mengorbankannya sebagai korban bakaran pengganti anaknya. Dan Abraham menamai tempat itu: TUHAN menyediakan, sebab itu sampai sekarang dikatakan orang: Di atas gunung TUHAN, akan disediakan” (Kej. 22:13-14).

2)   Yahweh-Nissi yang artinya Tuhan adalah panji-panjiku. Pada waktu orang Israel berperang melawan orang Amalek, maka Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Pasukan Israel yang dipimpin oleh Yosua mengalahkan mereka. Musa menulis, “Lalu Musa mendirikan sebuah mezbah dan menamainya: TUHANlah panji-panjiku” (Kel. 17:15).

3)   Yahweh-Shalom artinya Tuhan itu keselamatan. Pada waktu Gideon melihat malaikat TUHAN dengan berhadapan muka, maka ia menjadi sangat takut karena ketidaklayakannya itu. Namun Tuhan menjamin bahwa ia tidak akan mati. Kitab Hakim-hakim menulis, “Lalu Gideon mendirikan mezbah di sana bagi TUHAN dan menamainya: TUHAN itu keselamatan. Mezbah itu masih ada sampai sekarang di Ofra, kota orang Abiezer” (Hak. 6:24).

4)   Yahweh-Sabbaoth artinya Tuhan semesta alam, sesuai tulisan dalam 1 Samuel, “Orang itu (Elkana) dari tahun ke tahun pergi meninggalkan kotanya untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada TUHAN semesta alam di Silo. Di sana yang menjadi imam TUHAN ialah kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas” (1 Sam. 1:3). Para nabi memakai gelar ini untuk menyatakan bahwa Allah adalah pemimpin dan pelindung Israel, juga sesuai tulisan 1 Samuel, “Tetapi Daud berkata kepada orang Filistin itu: Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu” (1 Sam. 17:45).

5)   Yahweh-Makkaddeshkem artinya Tuhan yang menguduskan. Dia yang menjadikan status umat Israel bahkan kita anak-anak-Nya, sebagai umat pilihan-Nya. Musa menulis, “Katakanlah kepada orang Israel, demikian: Akan tetapi hari-hari Sabat-Ku harus kamu pelihara, sebab itulah peringatan antara Aku dan kamu, turun-temurun, sehingga kamu mengetahui, bahwa Akulah TUHAN, yang menguduskan kamu” (Kel. 31:13).

6)   Yahweh-Roi artinya Tuhan adalah gembalaku. Kita akan dipelihara, dijaga, dirawat oleh Dia, seperti ditulis Daud, “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku” (Maz. 23:1).

7)   Yahweh-Tsidkenu artinya Tuhan adalah keadilan. Nabi Yeremia menubuatkan bahwa akan lahir seorang raja, ialah Yesus Kristus yang akan memerintah dengan bijaksana dan akan melakukan keadilan dan kebenaran. Yeremia menulis, “Dalam zamannya Yehuda akan dibebaskan, dan Israel akan hidup dengan tenteram; dan inilah namanya yang diberikan orang kepadanya: TUHAN – keadilan kita” (Yer. 23:6).

8)   Yahweh-Shammah artinya Tuhan hadir di situ, sesuai yang ditulis Yehezkiel, “Jadi keliling kota itu adalah delapan belas ribu hasta. Sejak hari itu nama kota itu ialah: TUHAN HADIR DI SITU” (Yeh. 48:35).

9)   Yahweh-Allah-Israel artinya TUHAN adalah Allah Israel. Kitab Hakim-hakim menulis, “Dengarlah, ya raja-raja! Pasanglah telingamu, ya, pemuka-pemuka! Kalau aku, aku mau bernyanyi bagi TUHAN, bermazmur bagi TUHAN, Allah Israel” (Hak. 5:3).

 

  1. Nama Umum

Di samping ada nama pribadi, juga ada nama-nama umum dari Allah kita, yang bertalian dengan karya-Nya, pemeliharaan-Nya kepada kita. Nama-nama dimaksud dapatlah disebutkan sebagai berikut:

  1. Tuhan

Kata Tuhan diterjemahkan dari kata Ibrani, ”Adonai”; Yunani, ”Kurios”; Inggris, ”Lord”, yang artinya adalah majikan, pemilik, penguasa. Musa menulis, “Tuan-tuan, silahkanlah singgah ke rumah hambamu ini, bermalamlah di sini dan basuhlah kakimu, maka besok pagi tuan-tuan boleh melanjutkan perjalanannya. Jawab mereka: Tidak, kami akan bermalam di tanah lapang” (Kej. 19:2).

Bila dipakai untuk hubungan antara Allah dan manusia, maka kata Adonai, Kurios dan Lord mengandung arti otoritas mutlak (Yunani ”exousia” yang artinya kuasa yang adil, sungguh dan tak terhalangi bertindak atau memiliki, mengontrol, memakai atau menguasai sesuatu atau seseorang). Yosua menulis, ”Ketika Yosua dekat Yerikho, ia melayangkan pandangnya, dilihatnya seorang laki-laki berdiri di depannya dengan pedang terhunus di tangannya. Yosua mendekatinya dan bertanya kepadanya: Kawankah engkau atau lawan? Jawabnya: Bukan, tetapi akulah Panglima Balatentara TUHAN. Sekarang aku datang. Lalu sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah dan berkata kepadanya: Apakah yang akan dikatakan tuanku kepada hambanya ini” (Yos. 5:13-14). Paulus menulis, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia ini dalam segala hal, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan mereka, melainkan dengan tulus hati karena takut akan Tuhan” (Kol. 3:22).

Sewaktu Yesus Kristus hidup di bumi sebagai manusia, Ia disebut sebagai Tuhan, yang artinya rabi atau tuan. Matius menulis, “Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh dan ia sangat menderita” (Mat. 8:6). Tomas juga menganggap Dia sebagai Allah dan Tuhan sepenuhnya, seperti yang ditulis Yohanes, “Tomas menjawab Dia: Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh. 20:28).

Kebangkitan dan kenaikan Yesus ke sorga menempatkan Dia sebagai Tuhan atas seluruh alam semesta, seperti ditulis Lukas, “Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus” (KPR. 2:36). Bagi orang Kristen mula-mula, Yesus sama dengan Allah dalam Perjanjian Lama. Mereka mengakui bahwa Ia adalah Tuhan, yang mengenakan sifat dan hakikat Allah. Ia  sebagai Yahweh dari Perjanjian Lama.

  1. Penguasa

Kata penguasa diterjemahkan dari kata Yunani, “Despotes” mengandung arti kepemilikan. Allah-lah yang menjadi penguasa atas langit dan bumi serta segala isinya. Dialah pemilik atas semua ciptaan, termasuk kita umat-Nya. Lukas menulis, ”Ketika teman-teman mereka mendengar hal itu, berserulah mereka bersama-sama kepada Allah, katanya: Ya Tuhan, Engkaulah yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya” (KPR. 4:24).

  1. Bapa

Bapa diterjemahkan dari kata Aram, ”Abba”, nama panggilan seorang anak terhadap ayahnya. Kata ini mengandung arti rasa hormat dan keakraban, tetapi orang Yahudi tidak pernah memakainya untuk Allah. Nampaknya Yesus-lah yang pertama-tama memanggil Allah dengan Bapa, dan memberi hak kepada para murid-Nya untuk berbuat demikian.

Dalam teologi sebutan bapa terutama mengacu kepada oknum pertama dari Tritunggal. Karena oknum pertama dianggap sebagai sumber dari Allah yang ilahi, yakni melambangkan martabat, kehormatan dan kemuliaan Tritunggal, maka sebutan bapa dipakai menunjuk kepada-Nya. Petrus menyaksikan, “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini” (1 Ptr. 1:17).

Pengertian tentang Allah sebagai Bapa menunjuk kepada hubungan dasariah antara Allah dengan kita yang telah Ia ciptakan dalam gambaran-Nya. Hubungan alamiah itu meliputi pemberian hidup. Maleakhi mengatakan, “Bukankah kita sekalian mempunyai satu Bapa, bukankah satu Allah menciptakan kita?” (Mal. 2:10). Yesaya mengatakan, “Sekarang, ya Tuhan, Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkau-lah yang membentuk kami; dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu” (Yes. 64:8). Sebutan Bapa juga mengungkapkan hubungan perjanjian Allah kepada umat Israel. Dalam pengertian ini hubungan tersebut adalah hubungan kolektif, bukan hubungan perorangan. Israel sebagai umat perjanjian adalah anak Allah.

Dalam Perjanjian Baru sebutan Bapa dipakai dalam pengertian khas dan sangat pribadi. Kristus memakainya terlebih dahulu, mengenai hubungan-Nya sendiri dengan Allah. Bahwa hubungan tersebut adalah unik. Allah adalah Bapa-Nya melalui kelahiran-Nya yang kekal. Dalam konteks penyelamatan, hal dimaksud dilihat dari dua segi yakni dari kedudukan kita di dalam Kristus dan dari pekerjaan Roh Kudus yang membaharui kita.

  1. a) Kita dalam persekutuan dengan Kristus diterima masuk ke dalam keluarga Allah dan dengan demikian diberikan hak istimewa sebagai anak-Nya. Paulus menulis, “Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris” (Rm. 8:17).
  2. b) Kita dianggap sebagai dilahirkan ke dalam keluarga Allah melalui kelahiran kembali. Oleh kedudukan kita yang baru (pembenaran) dan hubungan (pengangkatan) kepada Allah Bapa di dalam Kristus, kita diikutsertakan dalam kodrat ilahi dan dilahirkan ke dalam keluarga Allah (2 Ptr. 1:4).

Allah disebut sebagai Bapa, yang memberikan kepada kita status sebagai anak-Nya, anugerah dan damai sentosa. Paulus menyaksikan, “Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu” (Ef. 1:2). Ia yang memberikan kepada kita pemberian yang baik, sebagaimana disaksikan Yakobus, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak. 1:17). Dia memberikan kepada kita perintah, sebagaimana yang ditulis Yohanes, “Aku sangat bersukacita, bahwa aku mendapati, bahwa separuh dari anak-anakmu hidup dalam kebenaran sesuai dengan perintah yang kita terima dari Bapa” (2 Yoh. 4).

Ajaran Yesus tentang ke-Bapa-an Allah dalam “Doa Bapa Kami” (Mat. 6:9-13), membatasi hubungan itu hanya bagi kita yang percaya kepada-Nya. Tidak pernah Ia menganggap dan memaksudkan hubungan ini terjadi antara Dia dan mereka yang tidak percaya. Hal itulah yang menyebabkan Ia mengatakan dengan sangat tajam kepada orang-orang Yahudi, ”Iblislah yang menjadi bapamu” (Yoh. 8:44a). Dalam hubungan bapa inilah ditunjukkan segi-segi dari tabiat-Nya yakni: kasih-Nya, seperti yang disaksikan oleh pemazmur, “Ya TUHAN, kasih-Mu sampai ke langit, setia-Mu sampai ke awan” (Maz. 36:6). Juga menyatakan pemeliharaan-Nya yang sempurna, seperti yang disaksikan Ayub, “Hidup dan kasih setia Kaukaruniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku” (Ay. 10:12). Dan Ia menjanjikan karunia serta kesetiaan-Nya, seperti yang disaksikan pemazmur, “Sebab kasih setia-Mu dibangun untuk selama-lamanya; kesetiaan-Mu tegak seperti langit” (Maz. 89:3).

  1. Yang Mahakudus Allah Israel

Yang Mahakudus Allah Israel (Ibrani: qedosy Yisra’el) merupakan nama atau gelar yang digemari oleh Yesaya baik dalam nubuat-nubuatnya yang terdahulu maupun yang kemudian, dan juga dalam Yeremia dan Mazmur. Yesaya menyaksikan, “Celakalah bangsa yang berdosa, kaum yang sarat dengan kesalahan, keturunan yang jahat-jahat, anak-anak yang berlaku buruk! Mereka meninggalkan TUHAN, menista yang Mahakudus, Allah Israel, dan berpaling membelakangi Dia (Yes. 1:4).

  1. Yang lanjut usia

Yang lanjut usia (Aram: attiq yomin”) adalah gelar terhadap Allah yang merupakan gambaran yang diberikan oleh Daniel, yang menggambarkan Allah dan takhta pengadilan-Nya, mengadili kerajaan dunia yang besar. Daniel menyaksikan, “Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usia-Nya; pakaian-Nya putih seperti salju dan rambut-Nya bersih seperti bulu domba; kursi-Nya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar” (Dan. 7:9).

  1. El’ Olam

El’ Olam artinya Allah yang kekal. Nama dimaksud dikenal tatkala Abraham mengadakan perjanjian dengan Abimelekh, maka ia menanam sebatang pohon tamariska di tempat dimana perjanjian itu diadakan, dan memanggil nama Allah. Musa menyaksikan, Lalu Abraham menanam sebatang pohon tamariksa di Bersyeba, dan memanggil di sana nama TUHAN, Allah yang kekal” (Kej. 21:33).  

  1. El’ Elohe Israel

El’ Elohe Israel artinya Allah adalah Allah dari Israel. Nama ini dikenal tatkala Yakub memperingati pertemuan yang baru saja ia alami dengan malaikat di tempat yang ia namakan Pniel (Ibrani: peni/-el artinya muka Allah). Jadi ia menerima Israel sebagai namanya dan taat beribadah kepada-Nya. Berkenaan dengan nama itu, Musa menulis, “Ia mendirikan mezbah di situ dan dinamainya itu: “Allah Israel ialah Allah” (Kej. 33:20).

  1. El’ Elyon”

El’ Elyon artinya Allah yang Mahatinggi, adalah gelar dari Allah seperti yang disembah oleh Melkisedek. Bertalian dengan nama ini, Musa menulis, “Tutur kata orang yang mendengar firman Allah, dan yang beroleh pengenalan akan Yang Mahatinggi, yang melihat penglihatan dari yang Mahakuasa, sambil rebah, namun dengan mata tersingkap” (Bil. 24:16).

 

 BERSAMBUNG  https://wartanasrani.com/detailpost/ketritunggalan-allah